“The Butterfly Effect” dalam Sepakbola

Terinspirasi dari sebuah video karya El Alonso yang berjudul “The Butterfly Effect”, saya mencoba mengulas beberapa momen dalam suatu pertandingan sepak bola yang mungkin saja dapat merubah sejarah dari seorang pemain maupun suatu tim.
Butterfly Effect adalah istilah untuk sebuah teori Chaos. Istilah ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Fenomena ini juga dikenal sebagai sistem yang ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Hanya sedikit perubahan pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang. Dengan kata lain: kesalahan yang sangat kecil akan menyebabkan bencana dikemudian hari (Wikipedia).
Dalam suatu pertandingan sepak bola, kesalahan dari seorang pemain merupakan suatu hal yang sangat mungkin terjadi. Tekanan dan tensi yang begitu tinggi dari suatu pertandingan dapat mempengaruhi psikologis atau mental dari seorang pemain. Dalam kondisi ini, skill individu mungkin tidak lagi berpengaruh. Hal seperti ini tentunya tidak hanya dapat mempengaruhi permainan dari seorang pemain saja, tapi juga dapat mempengaruhi permainan tim secara keseluruhan. Satu kesalahan saja dampaknya akan sangat besar terhadap hasil akhir dari dari suatu pertandingan atau bahkan bisa saja dapat merubah sejarah dari seorang pemain atau suatu tim.
Membicarakan pertandingan dengan tensi tinggi, berarti membicarakan pertandingan-pertandingan menentukan dalam suatu kompetisi. Atau bisa dibilang pertandingan “hidup-mati”. Pertandingan yang di dalamnya berisikan harapan dari jutaan pasang mata orang-orang yang menyaksikannya. Pertandingan yang di dalamnya berisikan ambisi dari pemain, pelatih, fans, para penjudi maupun orang-orang yang memiliki keterlibatan secara langsung maupun tidak langsung pada pertandingan tersebut. Pertandingan yang jika terjadi satu kesalahan saja, dapat merubah sejarah dari seorang pemain maupun suatu tim.

1. SS Lazio (4) V (2) Internazionale FC, Olimpico Roma, 5/5/2002, Giornata 34, Stagione 2001/2002

Gresko sang “penentu”

Bertandang ke kota Roma, Internazionale berstatus sebagai pemimpin klasemen Serie-A dengan 69 poin mengungguli Juventus (68) dan AS Roma (67). Inter yang saat itu ditangani oleh pelatih asal Argentina, Hector Cuper merupakan favorit peraih scudetto musim 2001/2002.
Diperkuat dua bomber berbahaya, Vieri dan Ronaldo─yang baru saja sembuh dari cedera panjangnya─Inter mampu bertahan di puncak klasemen Serie-A hingga giornata terakhir. Ketatnya persaingan dengan Juventus dan AS Roma membuat penentuan scudetto harus ditentukan hingga giornata terakhir.
Sementara Juve bertandang ke markas Udinese, dan AS Roma bermain di Turin menghadapi Torino, Inter harus bertandang ke kota Roma menghadapi Lazio.
Lazio yang saat itu tidak memiliki “kepentingan” lagi bisa saja dengan mudah dikalahkan oleh Inter. Tapi ceritanya berbeda, dengan sangat mengejutkan, Lazio berhasil menjungkalkan Inter dengan skor 4-2 yang sekaligus memupus harapan anak-anak asuhan Hector Cuper untuk meraih scudetto ke-14 yang sudah ditunggu selama 14 tahun tersebut. Unggul lewat gol Christian Vieri melalui kemelut di depan gawang Angelo Peruzzi, Lazio berhasil menyamakan kedudukan melalui Karel Poborsky skor 1-1. Luigi di Biaggio berhasil membawa Inter unggul 2-1 melalui sundulannya , tetapi bek kiri Inter, Vratislav Gresko menjadi “tokoh sentral” terjadinya gol penyama kedudukan Lazio. Back pass-nya ke arah Fransesco Toldo terlalu lemah dan dapat disambar oleh Poborsky untuk mencetak gol keduanya ke gawang Inter, 2-2. Di babak kedua, mental pemain-pemain Inter seolah hancur lebur setelah eks kapten mereka, Diego Simeone mencetak gol melalui sundulan untuk membawa Lazio Unggul 3-2. Dan akhirnya scudetto ke-14 untuk Inter itu pun hanya tinggal sebuah harapan ketika Simone Inzaghi memperbesar keunggulan Lazio menjadi 4-2. Peluit panjang pun ditiup, di kota Udine, Juventus merayakan scudetto mereka yang ke-26 bersama para tifosinya, sementara di kota Torino, AS Roma sedikit kecewa karena kemenangan mereka terasa sia-sia, sedangkan di Kota Roma, pemain, pelatih, tifosi dan presiden Inter harus menahan air mata karena baru saja melihat scudetto yang sudah di depan mata hilang begitu saja. Lebih parahnya lagi, Inter pun harus tergusur dua tingkat ke peringkat 3 dan hanya berhak mengikuti kualifikasi 3 kompetisi Liga Champions musim 2002/2003.
Jika para Interisti (sebutan untuk tifosi Inter) ditanya lagi mengenai pertandingan ini, maka mayoritas jawaban mereka adalah “Gresko”. Ya, bek kiri Inter asal Slovakia ini dianggap menjadi pemain yang paling bertanggung jawab atas kegagalan Inter meraih scudetto ke-14 nya. Andaikan back pass-nya berhasil, mungkin Inter saat itu mampu meraih scudetto-nya yang ke-14 tanpa perlu menunggu gelar “hadiah” yang mereka dapatkan tahun 2006 lalu serta namanya mungkin akan dikenang sebagai salah satu bek kiri terbaik Inter, tetapi satu kesalahanya menjadikan namanya kini hanya dikenang sebagai biang kegagalan Inter meraih scudetto ke-14 nya. Ya..., andaikan saja.


eks kapten Inter, Diego Simeone mencetak gol ke-3 Lazio


penyerang tengah Inter, Ronaldo menangis di bench setelah Inter tertinggal jauh 4-2

Alex del Piero terkejut karena akhirnya Juventus lah yang meraih scudetto


2. Prancis (2) V (1) Italia, 2/7/’00, Final Euro 2000, Feijenoord Stadion, Rotterdam, Belanda

Golden goal penentu

Belanda yang berstatus sebagai tuan rumah saat itu merupakan tim yang diunggulkan untuk merebut trofi Piala Eropa 2000. Bertemu Italia yang saat itu diasuh Dino Zoff di semifinal, mereka harus mengakui ketangguhan pertahanan “gerendel” Italia yang terkenal dengan istilah “catenaccio”. Fransesco Toldo menjadi salah satu penentu dalam laga tersebut setelah mati-matian berhasil menggagalkan peluang demi peluang dari tuan rumah termasuk 2 tendangan penalty dari Frank de Boer saat pertandingan dan adu penalty.
Melajulah Italia ke partai final untuk berhadapan dengan Prancis yang di semifinal berhasil mengalahkan Portugal lewat golden goal tendangan penalty Zinedine Zidane. Ini adalah pertemuan kedua kalinya bagi kedua tim di ajang bergengsi setelah sebelumnya di Piala Dunia 1998 Prancis berhasil menyingkirkan Italia lewat adu penalty di perempat final.
Aroma persaingan kedua tim sangat kental terasa sebelum laga berlangsung. Prancis berobsesi mengawinkan gelar Piala Dunia dengan Piala Eropa, sementara Gli Azzurri menginginkan balas dendam atas kekalahan mereka di Piala Dunia ’98 sekaligus meraih trofi yang terakhir mereka menangkan tahun 1968 silam.
Benar saja, pertandingan berjalan ketat, dengan babak pertama berakhir tanpa gol untuk kedua tim. Memasuki babak kedua, Marco Delvechio berhasil membuat ribuan tifosi Gli Azzurri bergemuruh. Lewat sontekan manisnya, Fransesco Totti berhasil mengirimkan bola kepada Gianluca Pesotto yang kemudian mengirimkan umpan silang ke arah kotak penalty Prancis. Marco Delvechio berhasil melewati hadangan dua bek Prancis dan dengan mudah menyambar bola untuk menaklukan kiper Fabian Barthez, 1-0 untuk Italia. Tertinggal satu gol, Prancis pun lantas meningkatkan tempo serangan. Sylvain Wiltord, David Trezeguet serta Robert Pires dimasukan untuk menambah daya gedor. Pertahanan Italia yang pada pertandingan melawan Belanda bagaikan sebuah tembok beton, kali ini kembali diuji. Benar saja, hingga injury time menyisakan 1 menit lagi, gawang Fransesco Toldo masih perawan. Pemain-pemain serta staff dari tim Italia pun sudah bersiap menyambut trofi Eropa kedua mereka. Tapi pertandingan belum usai sebelum wasit menitup pluit panjang. Menit ke 94, bek kanan Fabio Cannavaro melakukan clearance yang tidak sempurna hingga bola akhirnya jatuh di kaki Sylvain Wiltord yang kemudian berhasil menjaringkan bola ke sudut kiri gawang Fransesco Toldo, 1-1. Perayaan yang sudah tinggal menunggu hitungan detik itupun buyar dalam sekejap. Seluruh anggota timnas Italia nampak tidak percaya Prancis mampu menyamakan skor di sisa waktu yang tidak sampai satu menit itu. Pertandingan pun harus diteruskan melalui ekstra time. Saat itu format yang diterapkan adalah sistem golden goal di mana tim yang berhasil mencetak gol lebih dulu dinyatakan sebagai pemenang tanpa harus menyelesaikan 2 x 15 menit perpanjangan waktu. Mimpi buruk bagi Italia akhirnya benar-benar datang. Menit 103, Robert Pires dan David Trezeguet yang masuk sebagai pemain pengganti berhasil menaklukan catenaccio Italia yang berhasil membuat Belanda frustasi. Berhasil mengelabui Alesandro Nesta, Pires langsung mengirimkan umpan terukur yang tidak terlalu tinggi ke kotak penalty. David Trezeguet yang lepas dari pengawalan Iuliano dan Maldini langsung menyambar dengan tendangan voli kaki kirinya. Bola tanpa ampun menerjang sisi kanan gawang Fransesco Toldo. Skor berubah 2-1 untuk kemenangan Prancis. Sekejap seluruh supporter dan anggota timnas Prancis larut dalam selebrasi golden goal Trezeguet tersebut. Sementara di sisi lapangan yang berbeda, seluruh anggota timnas Italia harus gigit jari dan merelakan gelar juara Eropa melayang dari genggaman mereka.
Satu kesalahan dari Fabio Cannavaro yang selama 94 menit bermain nyaris tanpa cela akhirnya membuyarkan harapan Italia menggenggam trofi Eropa untuk yang kedua kalinya. Italia yang begitu dekat dengan trofi tersebut harus tertunduk lesu dan pulang dengan tangan hampa. Andaikan saja clearance dari Cannavaro berhasil dan gawang Toldo tetap perawan, mungkin Italia saat ini sudah memiliki trofi Eropa kedua mereka di lemari trofi mereka. Seandainya…

gol Sylvain Wiltord di injury time

golden goal David Trezeguet

Fransesco Toldo menatap lesu gawangnya yang kebobolan

Alex del Piero dan Vicenzo Montella hanya bisa menatap lesu pemain-pemain Prancis yang merayakan trofi Eropa keduanya


akan di update....